Beranda | Artikel
Penjelasan Hadits Innamal Amalu Binniyat (2)
Jumat, 16 Mei 2014

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du.

Berikut ini syarah (penjelasan) hadits tentang niat. Semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.

ٍعَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Dari Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits)

Syarh (Penjelasan)

Imam Bukhari menyebutkan hadits tentang niat ini di awal kitab shahihnya sebagai mukadimah kitabnya, di sana tersirat bahwa setiap amal yang tidak diniatkan karena mengharap Wajah Allah adalah sia-sia, tidak ada hasil sama sekali baik di dunia maupun di akhirat.

Al Mundzir menyebutkan dari Ar Rabi’ bin Khutsaim, ia berkata, “Segala sesuatu yang tidak diniatkan mencari keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla, maka akan sia-sia”.

Abu Abdillah rahimahullah berkata, “Tidak ada hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih banyak, kaya dan dalamnya faedah daripada hadits ini”.

Abdurrahman bin Mahdiy berkata, “Kalau seandainya saya menyusun kitab yang terdiri dari beberapa bab, tentu saya jadikan hadits Umar bin Al Khattab yang menjelaskan bahwa amal tergantung niat ada dalam setiap bab”.

Mayoritas ulama salaf berpendapat bahwa hadits tentang niat ini sepertiga Islam.

Mengapa demikian?

Menurut Imam Baihaqi, karena tindakan seorang hamba itu terjadi dengan hati, lisan dan anggota badannya, dan niat yang tempatnya di hati adalah salah satu dari tiga hal tersebut dan yang paling utama.

Menurut Imam Ahmad adalah, karena ilmu itu berdiri di atas tiga kaidah, di mana semua masalah kembali kepadanya, yaitu:

  • Pertama, hadits “innamal a’malu binniyat” (Sesungguhnya amal itu tergantung dengan niat).
  • Kedua, hadits “Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa radd” (Barang siapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak kami perintahkan, maka amal itu tertolak).
  • Ketiga, hadits “Al Halaalu bayyin wal haraamu bayyin” (Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas).”

Di samping itu, niat adalah tolok ukur suatu amalan; diterima atau tidaknya tergantung niat dan banyaknya pahala yang didapat atau sedikit pun tergantung niat.

Niat adalah perkara hati yang urusannya sangat penting, seseorang bisa naik ke derajat shiddiqin dan bisa jatuh ke derajat yang paling bawah disebabkan karena niatnya.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuatkan perumpamaan terhadap kaidah ini dengan hijrah; yaitu barang siapa yang berhijrah dari negeri syirik mengharapkan pahala Allah, ingin bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menimba ilmu syari’at agar bisa mengamalkannya, maka berarti ia berada di atas jalan Allah (fa hijratuhuu ilallah wa rasuulih), dan Allah akan memberikan balasan untuknya.

Sebaliknya, barang siapa yang berhijrah dengan niat untuk mendapatkan keuntungan duniawi, maka dia tidak mendapatkan pahala apa-apa, bahkan jika ke arah maksiat, ia akan mendapatkan dosa.

Niat secara istilah adalah keinginan seseorang untuk mengerjakan sesuatu, tempatnya di hati bukan di lisan.

Oleh karena itu, tidak dibenarkan melafazkan niat, seperti ketika hendak shalat, hendak wudhu, hendak mandi, dan sebagainya.

Menurut para fuqaha’ (ahli fiqh), niat memiliki dua makna:

  1. Tamyiiz (pembeda), hal ini ada dua macam:
    • Pembeda antara ibadah yang satu dengan yang lainnya. Misalnya antara shalat fardhu dengan shalat sunnah, shalat Zhuhur dengan shalat Ashar, puasa wajib dengan puasa sunnah, dan seterusnya.
    • Pembeda antara kebiasaan dengan ibadah. Misalnya mandi karena hendak mendinginkan badan dengan mandi karena janabat, menahan diri dari makan untuk kesembuhan dengan menahan diri karena puasa.
  2. Qasd (meniatkan suatu amal “karena apa?” atau “karena siapa?”)

Maksudnya apakah suatu amal ditujukan karena mengharap wajah Allah Ta’ala saja (ikhlas) atau karena lainnya? Atau apakah ia mengerjakannya karena Allah, dan karena lainnya juga atau tidak?

Baca Juga: Bisa Batal Puasa Karena Niat?

Hukum niat

Niat adalah syarat sahnya amal.

Ibnu Hajar Al ‘Asqalaaniy berkata, “Para fuqaha (ahli fiqh) berselisih apakah niat itu rukun[1] (masuk ke dalam suatu perbuatan) ataukah hanya syarat (di luar suatu perbuatan)? Yang kuat adalah bahwa menghadirkan niat di awal suatu perbuatan adalah rukun, sedangkan istsh-hab hukm/menggandengkan dengan suatu perbuatan (tidak berniat yang lain atau memutuskannya[2]) adalah syarat.”

Pendapat ulama salaf tentang pentingnya niat dan pentingnya mempelajari niat

Yahya bin Katsir berkata, “Pelajarilah niat, karena niat itu lebih sampai daripada amal”.

Abdullah bin Abi Jamrah berkata, “Aku ingin kalau seandainya di antara fuqaha (ahli fiqh) ada yang kesibukannya hanya mengajarkan kepada orang-orang niat mereka dalam mengerjakan suatu amal dan hanya duduk mengajarkan masalah niat saja”.

Sufyan Ats Tsauriy berkata, “Dahulu orang-orang mempelajari niat sebagaimana kalian mempelajari amal”.

Sebagaimana dikatakan oleh Yahya bin Katsir di atas bahwa niat lebih sampai daripada amal, oleh karena itu Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dapat mengungguli orang-orang Khawarij (kelompok yang keluar dari barisan kaum muslimin dan memvonis kafir pelaku dosa besar) dalam hal ibadah karena niatnya, di samping itu amalan yang kecil akan menjadi besar karena niatnya.

Sehingga dikatakan, “Memang Abu Bakr Ash Shiddiq dan sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dikalahkan ibadahnya oleh Khawarij, tetapi para sahabat mengungguli mereka karena niatnya”.

Ibnu Hazm mengatakan, “Niat itu rahasia suatu ibadah dan ruhnya”.

Apa maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Amal itu tergantung niat?”

Maksudnya adalah sahnya suatu amal dan sempurnanya hanyalah tergantung benarnya niat.

Oleh karena itu apabila niat itu benar dan ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala maka akan sah pula suatu amal dan akan diterima dengan izin Allah Ta’ala. Atau bisa juga maksudnya adalah baiknya suatu amal atau buruknya, diterima atau ditolaknya, mubah atau haramnya tergantung niat.

Apa maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Dan seseorang hanya mendapatkan apa yang diniatkannya?”

Maksudnya adalah seseorang mendapatkan pahala atau siksa terhadap amalnya tergantung niatnya, apabila niatnya baik maka akan diberi pahala, sebaliknya jika tidak baik maka akan mendapat siksa.

Baca Juga: Polemik Pelafalan Niat Dalam Ibadah

Beberapa faedah hadits tentang niat

  • Mengikhlaskan amal karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan membersihkannya dari segala macam yang menodai keikhlasan adalah cara pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah Ta’ala yang paling baik.
  • Syarat diterimanya amal ada dua; ikhlas[3] dan mutaaba’atur rasul (mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dalil bahwa syarat diterimanya amal adalah ikhlas berdasarkan hadits di atas, sedangkan dalil bahwa syarat yang kedua adalah harus sesuai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hadits berikut:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya maka dia tertolak (tidak diterima).” (HR. Bukhari-Muslim)

  • Dari hadits di atas kita ketahui, bahwa agar lurus dan diterimanya suatu amal dibutuhkan batin dan zhahir yang baik. Batin akan menjadi baik dengan niat yang ikhlas, dan zhahir akan menjadi baik dengan sesuai contoh atau ada perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Amal yang kecil bisa menjadi besar karena niat yang benar, dan amal yang besar menjadi kecil karena niat.
  • Perbuatan maksiat itu selamanya tidak bisa menjadi ketaatan meskipun niatnya baik. Misalnya seseorang bermain judi dengan niat agar hasilnya bisa membantu orang-orang miskin, membangun masjid atau lainnya. Orang yang melakukan hal ini adalah pelaku maksiat dan ia berdosa meskipun niatnya baik, karena suatu perbuatan tidak bisa menjadi ketaatan dengan niat yang baik kecuali apabila perbuatan itu adalah perbuatan yang mubah bukan yang haram.
  • Amal dikatakan saleh apabila bersih dan benar. Bersih maksudnya hanya karena Allah Subhaanahu wa Ta’ala saja, dan benar maksudnya sesuai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana dikatakan Fudhail bin ‘Iyaadh rahimahullah ketika menafsirkan ayat berikut,

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Yang menjadikan mati dan hidup, agar Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.”(QS. Al Mulk : 2)

Maksudnya yang paling bersih dan paling benar.” Lalu orang-orang bertanya, “Wahai Abu ‘Ali! Apa maksud yang paling bersih dan paling benar?” Ia menjawab, “Sesungguhnya amal apabila bersih namun tidak benar maka tidak diterima, dan apabila benar namun tidak bersih juga tidak diterima, bersih adalah karena Allah, dan benar adalah di atas Sunnah.”

  • Sah atau tidaknya suatu amal tergantung niat. Sempurnanya pahala yang didapat atau kurangnya juga tergantung niat. Sebagaimana suatu amal mubah bisa menjadi sebuah ketaatan atau sebuah kemaksiatan karena niat.

Oleh karena itu, apabila niat seseorang mengerjakan suatu ibadah karena riya’, maka akan menjadi dosa. Sebaliknya, apabila seseorang berjihad dengan niat meninggikan kalimat Allah, maka sempurnalah pahalanya. Barang siapa berjihad dengan niat agar mendapatkan ghanimah semata, maka ia tidak mendapatkan pahala mujahid fii sabiilillah.

  • Niat tempatnya di hati, melafazkannya adalah hal yang bid’ah.
  • Dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap mereka yang ditimpa was-was sampai mengulangi wudhu’ atau shalat karena merasa belum pas niatnya, dimana setan mengatakan kepada mereka, ”Kamu belum berniat,” sehingga ia ulangi lagi wudhu’ atau shalatnya.
  • Seseorang wajib berhati-hati terhadap pembatal amalan seperti riya’, sum’ah, beramal karena tujuan duniawi, dan ’ujub (bangga diri).
  • Keutamaan hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Hijrah artinya berpindah dari negeri kufur (negeri yang tampak semarak syi’ar-syi’ar kekufuran dan tidak bisa ditegakkan syi’ar-syi’ar Islam, seperti azan, shalat berjamaah, shalat Jum’at, dan shalat ‘Ied) ke negeri Islam, hukumnya ada dua:
    • Wajib, yaitu apabila seseorang tidak bisa menegakkan/menjalankan agamanya.
    • Sunnah, yaitu apabila seseorang bisa menegakkan agamanya.
      Hijrah tetap berlaku sampai hari Kiamat. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ حَتَّى تَنْقَطِعَ التَّوْبَةُ وَ لاَ تَنْقَطِعُ التَّوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

“Hijrah tidaklah terputus sampai tobat terputus, dan tobat tidaklah terputus sampai matahari terbit dari barat.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 7469)

Telah terjadi beberapa macam hijrah dalam Islam, yaitu:

    • Berpindah dari negeri syirk ke negeri Islam, sebagaimana hijrah dari Mekah ke Madinah.
    • Berpindah dari negeri yang berbahaya ke negeri yang aman, sebagaimana hijrah ke Habasyah.
    • Meninggalkan apa yang dilarang Allah, sebagaimana dalam sabda Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ

“Orang muslim (yang paling utama) adalah seseorang yang kaum muslim lainnya selamat dari gangguan lidah dan tangannya, dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah.” (HR. Bukhari)

  • Banyaknya maksud (tujuan) yang baik dalam niat hukumnya boleh. Misalnya seseorang melakukan shalat mengharap ridha Allah dan pahala-Nya, mengharap juga dengan shalatnya itu ketenangan dengan bermunajat kepada Allah, dan mengharapkan ketenteraman batin dan dada yang lapang.
  • Niat yang baik dapat menjadikan perbuatan yang biasa (’aadaah) menjadi ibadah. Misalnya ketika dihidangkan makanan ia merasakan karunia Allah dan nikmat-Nya kepada dirinya, dimudahkan-Nya untuk memakan makanan tersebut sedangkan orang lain tidak, orang lain berada dalam ketakutan sedangkan dia berada dalam keamananan dan kenikmatan, dia pun memulai makan dengan nama Allah (bismillah) dan menyudahinya dengan memuji Allah, dia juga meniatkan dengan makannya itu agar bisa menjalankan ketaatan kepada-Nya.

Ibnul Qayyim dan ulama yang lain mengatakan, “Orang-orang yang ‘aarif (mengenal Allah) itu, perbuatan yang biasa mereka lakukan menjadi ibadah, sedangkan orang-orang ‘awam menjadikan ibadah mereka sebagai kebiasaan.”

Zaid Asy Syaamiy berkata, “Sesungguhnya saya suka memiliki niat dalam segalanya meskipun dalam makan dan minum.”

Sebagian ulama salaf mengatakan, “Siapa saja yang suka amalnya menjadi sempurna, maka perbaguslah niat, karena Allah akan memberikan pahala kepada seorang hamba apabila ia memperbagus niatnya walaupun pada saat ia menyuap makanan.”

  • Apabila seseorang mengerjakan suatu ibadah dengan niat murni untuk mendapatkan dunia misalnya menjadi muazin dengan niat agar diberi uang atau menjadi imam masjid agar digaji, maka orang yang seperti ini batal (tidak diterima) ibadahnya dan terjatuh ke dalam syirk qasd (syirk dalam hal tujuan). Orang ini juga terancam dengan ayat berikut:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.–Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Huud: 15-16)

  • Seseorang tidak boleh meninggalkan suatu amal karena takut riya’.

Fudhail bin ‘Iyaadh mengatakan, “Meninggalakan suatu amal karena manusia adalah riya’, beramal karena manusia adalah syirk, sedangkan ikhlas semoga Allah menjagamu dari keduanya”.

Maksudnya adalah sebagaimana beramal karena manusia adalah riya’ atau syirk, begitu pula meninggalkan (tidak jadi mengerjakan) suatu amal karena manusia adalah riya’ pula.”

  • Seseorang yang dalam ibadahnya bertujuan untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah namun ada tujuan duniawi yang hendak diperolehnya, maka bisa mengurangi balasan keikhlasan. Misalnya,
    • Ketika melakukan thaharah (bersuci), disamping berniat ibadah kepada Allah, ia juga berniat untuk membersihkan badan.
    • Puasa disamping untuk mendekatkan diri kepada Allah sekaligus untuk diet.
    • Menunaikan ibadah haji disamping untuk beribadah kepada Allah sekaligus untuk melihat tempat-tempat bersejarah atau untuk bertamasya.
  • Bagaimanakah apabila yang mencampuri niat yang benar itu adalah urusan dunia?

Misalnya seseorang naik haji sambil berniat dalam hajjinya itu untuk melakukan perniagaan yang halal, atau seseorang berperang niatnya itu disamping niat berjihad di jalan Allah adalah agar mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang).

Pertanyaannya adalah apakah amalnya ini (hajji dan perangnya) sah? Jawab, “Para ahli ilmu sepakat tentang sahnya amal ini, mereka berdalil dengan ayat 198 surat Al Baqarah berikut,

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّين

Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.

Abu Umaamah At Taimiy bertanya kepada Ibnu Umar,

إِنَّا نُكْرِي فَهَلْ لَنَا مِنْ حَجٍّ قَالَ أَلَيْسَ تَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ وَتَأْتُونَ الْمُعَرَّفَ وَتَرْمُونَ الْجِمَارَ وَتَحْلِقُونَ رُءُوسَكُمْ قَالَ قُلْنَا بَلَى فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَنِ الَّذِي سَأَلْتَنِي فَلَمْ يُجِبْهُ حَتَّى نَزَلَ عَلَيْهِ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام بِهَذِهِ الْآيَةِ (لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ ) فَدَعَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَنْتُمْ حُجَّاجٌ (احمد)

“Sesungguhnya kami ini orang yang suka melakukan sewa-menyewa, apakah kami akan mendapatkan (pahala) hajji?” Ibnu Umar menjawab, “Bukankah kamu thawaf di baitullah, mendatangi Mu’arraf, kamu melempar jamrah dan mencukur kepala?” Ia menjawab, “Ya”, Ibnu Umar pun berkata, “Pernah datang seseorang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan tentang yang kamu tanyakan, Beliau pun tidak menjawab sampai Jibiril turun dengan membawa ayat ini “Laisa ‘alakum junaahun…dst.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memanggil orang itu dan berkata,”Kalian adalah hujjaj (orang-orang yang berhajji).” (HR. Pentahqiq Musnad Ahmad berkata, “Isnadnya shahih.”)

Namun apabila yang lebih berat niatnya adalah yang bukan ibadah, maka ia tidak memperoleh ganjaran di akhirat, tetapi balasannya hanya diperoleh di dunia, bahkan dikhawatirkan akan menyeretnya kepada dosa. Sebab ia menjadikan ibadah yang mestinya karena Allah, namun malah dijadikan sarana untuk mendapatkan dunia yang rendah nilainya.

Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa ada seorang yang berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ رَجُلٌ يُرِيدُ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَهُوَ يَبْتَغِي عَرَضًا مِنْ عَرَضِ الدُّنْيَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا أَجْرَ لَهُ فَأَعْظَمَ ذَلِكَ النَّاسُ وَقَالُوا لِلرَّجُلِ عُدْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَعَلَّكَ لَمْ تُفَهِّمْهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ رَجُلٌ يُرِيدُ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَهُوَ يَبْتَغِي عَرَضًا مِنْ عَرَضِ الدُّنْيَا فَقَالَ لَا أَجْرَ لَهُ فَقَالُوا لِلرَّجُلِ عُدْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ لَهُ لَا أَجْرَ لَهُ* (ابوداود وحسنه الألباني في صحيح سنن ابي داود رقم 2196)

“Wahai Rasulullah, ada seseorang yang ingin berjihad di jalan Allah dan ingin mendapatkan harta dunia?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala”, orang-orang pun merasakan keberatan, dan berkata, “Kembalilah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mungkin saja, kamu belum memberikan penjelasan yang rinci.” Maka orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, ada seseorang yang ingin berjihad di jalan Allah dan ingin mendapatkan harta dunia?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala”, sampai-sampai si penanyapun bertanya lagi hingga ketiga kalinya, namun Beliau tetap bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala.” (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)

Apabila ada yang bertanya, “Bagaimana cara untuk mengetahui apakah lebih banyak tujuan untuk beribadah ataukah selain ibadah ?”

Jawab: “Caranya ialah, apabila ia tidak menaruh perhatian kecuali kepada ibadah saja, berhasil ia kerjakan atau tidak. Maka hal ini menunjukkan niatnya lebih besar tertuju kepada ibadah, dan apabila sebaliknya maka ia tidak mendapatkan pahala.”

  • Tidak boleh seseorang meninggalkan suatu amal karena takut riya’, Fudhail bin ‘Iyaadh mengatakan, “Meninggalakan suatu amal karena manusia adalah riya’, beramal karena manusia adalah syirk, sedangkan ikhlas semoga Allah menjagamu dari keduanya.”

Imam Nawawiy berkata tentang maksud perkataan Fudhail bin ‘Iyadh tersebut, “Barang siapa yang hendak mengerjakan amal saleh lalu ia meninggalkannya karena takut riya’ kepada manusia maka sesungguhnya ia telah berbuat riya’ karena meninggalkanya itu. Hal itu, karena meninggalkan suatu perbuatan karena manusia dan segala sesuatu (yang dilkakukan) karena manusia adalah riya’, sebagaimana beramal karena manusia adalah riya’ atau syirk, begitu pula meninggalkan (suatu amalan) karena manusia adalah riya’ juga.”

Baca Juga: Terlalu Was-Was Dalam Niat Shalat

Masalah fiqh yang berkaitan dengan niat [4]

Ishtish-haabun niyyah (menempelnya niat)

Apa maksud istish-haabun niyyah?

Jawab: “Ishthish-haab secara bahasa artinya menemani (mulaazamah), sedangkan menurut fuqaha adalah, “Menempelnya niat dalam suatu amal dari mulai sampai selesai”. Istish-habun niyyah itu terbagi dua: Ishthish-hab dzikr dan Ishthish-hab hukm.

Ishthish-hab dzikr misalnya seorang yang beribadah tetap terus menghadirkan niatnya dari awal ibadahnya hingga selesai.

Lalu apakah hal ini wajib?

Jawab: Tidak, tidak wajib menghadirkan niat dari awal sampai selesai karena akan membuat kesulitan orang yang beribadah, juga karena seseorang tidak mampu untuk tidak memikirkan hal lain ketika beribadah.

Oleh karena itu, dianjurkan saja untuk menghadirkan niat dari mulai sampai selesai namun tidak wajib.

Sedangkan ishthish-hab hukm yaitu seseorang berniat untuk memasuki suatu amal ibadah dan tidak memutuskannya (membatalkannya) atau mengerjakan hal yang bertentangan dengan yang diniatkannya, istish-hab hukm ini adalah syarat sahnya amal.

Oleh karena itu, ia wajib melakukan hal itu dari mulai sampai selesai (yakni tidak berniat melakukan ibadah yang lain).

Misalnya seseorang ingin shalat, ketika ia bertakbir dan masuk ke dalam shalat, ia tidak boleh berniat untuk memutuskan (membatalkan) shalatnya, apabila ia berniat untuk memutuskan shalatnya maka batallah shalatnya itu.

Contoh lain adalah seseorang yang berpuasa niatnya untuk beribadah kepada Allah Tabaraka wa Ta’aala, lalu ia niatkan untuk memutuskan puasanya, maka puasanya batal karena putusnya niat (tidak ishthish-hab hukm).

Memutuskan niat

Hukum memutuskan niat dirinci dalam ibadah-ibadah berikut :

  • Shalat.

Apabila seseorang berniat untuk keluar dari shalat dengan memutuskan niatnya (seperti dengan berniat melakukan hal yang lain) maka shalatnya batal sesuai kesepakatan ulama sebagaimana dinukil oleh As Suyuuthiy dan lain-lain.

  • Puasa.

Apabila seseorang berniat keluar dari puasa maka batallah puasanya menurut pendapat yang rajih dari pendapat Ahli Ilmu dan pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama karena niat itu syarat dalam puasa secara keseluruhan. Oleh karena itu, apabila diputuskan di tengah-tengahnya (dengan berniat buka) sehingga sisa puasanya tidak di atas niat maka maka batal puasanya itu. Jika batal sebagiannya maka seluruhnya (dari terbit fajar sampai tenggelam matahari) ikut batal.

  • Nusuk (ibadah haji atau umrah).

Apabila seseorang berniat keluar dari nusuknya setelah memulai maka ia tidak boleh keluar dari nusuknya kecuali setelah ditunaikan nusuknya itu atau dengan ber-tahallul karena ih-shaar (terhalang), inilah yang dipegang jumhur ulama dan sebagai pendapat yang rajih menurut kebanyakan ahli ilmu, berdasarkan dalil “Wa atimmul hajja wal ‘umrata lillah” (artinya: sempurnakan haji dan umrah karena Allah)[5].

Asy Sya’biy dan Ibnu Zaid berkata, “Maksud ‘sempurnakanlah’ adalah sempurnakanlah haji dan umrah setelah memulai masuk ke dalamnya (ihram), karena siapa saja yang sudah berihram untuk nusuk (naik haji atau umrah) ia wajib meneruskan dan tidak boleh dibatalkan.”

Qalbun niyyah (mengubah niat dari ibadah yang satu ke ibadah yang lain)

Kapankah seseorang boleh qalbun niyyah?

Jawab: Seseorang boleh qalbun niyyah karena ada maslahat syar’i. Misalnya;

  • Dalam shalat
    • Seseorang bertakbir dalam shalat fardhu dengan perkiraan bahwa waktunya sudah masuk, lalu ternyata belum masuk, maka ia boleh mengubah niatnya dari shalat fardhu ke shalat sunnah.
    • Seseorang bertakbir untuk shalat sendiri, kemudian ada shalat jamaah yang ditegakkan, maka menurut pendapat yang shahih dari pendapat ahli ilmu adalah ia mengubah niat shalat fardhu sendiri menjadi shalat sunnah, lalu ia menyempurnakan shalat sunnahnya itu, kemudian ikut shalat berjamaah.
  • Dalam haji
    Seseorang berihram (berniat) haji ifrad (haji saja) atau qiran (menggabung antara hajji dengan umrah) namun tidak membawa hadyu (binatang sembelihan), iapun kemudian mengubah niatnya ke hajji tamattu’ maka ini boleh bahkan mustahab (dianjurkan), karena tamattu’ (mendahulukan umrah baru haji) lebih utama daripada hajji qiran.

Baca Juga: Fatwa Ulama: Niat Puasa, Sekali Untuk Sebulan Atau Setiap Hari?

Hukum-hukum yang berkaitan dengan niat menjadi imam dan makmum

Hukum niat menjadi imam

Pendapat yang rajih dan shahih dari pendapat Ahli Ilmu adalah bahwa niat menjadi imam itu bukanlah syarat sah shalat, baik shalat fardhu maupun sunnah.

Misalnya seorang shalat zhuhur sendiri lalu datang orang lain ikut shalat bersamanya sebagai ma’mum maka shalatnya insya Allah adalah sah.

Contoh yang lain adalah seorang shalat sunnah lalu ada orang lain yang ikut shalat bersamanya, maka boleh bagi orang lain untuk berma’mum kepadanya dan ikut shalat bersamanya meskipun ia berniat di awal shalatnya sendiri.

Hukum niat menjadi makmum

Lalu apa hukum berniat menjadi ma’mum?

Jawab: Imam madzhab yang empat sepakat bahwa bagi seseorang kalau hendak berma’mum harus berniat sebelum memasuki shalat.

Mengapa ma’mum harus berniat berma’mum sebelum memasuki shalat bersama imam?

Jawabnya, “Karena berniat untuk mengikuti adalah perbuatan lebih dari niat shalat sendiri, perbuatan lebih itu adalah mutaaba’ah (mengikuti imam), juga karena ma’mum tidak melakukan perbuatan shalat kecuali setelah dipimpin imam, oleh karenanya butuh berniat”.

Bermakmum pada orang yang shalat sunnah

Apa hukum orang yang melakukan shalat fardhu berma’mum kepada orang yang melakukan shalat sunnah?

Jawab: Hukumnya adalah boleh, sebagaimana Mu’adz bin Jabal setelah shalat Isya di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ia shalat lagi mengimami kaumnya (sebagaimana dalam riwayat Muslim), shalat yang kedua yang dilakukan Mu’adz adalah sunnah sedangkan kaumnya melakukan shalat fardhu di belakangnya.

Bermakmum pada orang yang shalat fardhu

Apabila seorang shalat fardhu bermakmum kepada orang yang shalat fardhu, maka makmum yang shalat fardhu di belakangnya ada tiga keadaan :

  1. Zhahir dan bathin keduanya (imam dan makmum) sama.
  2. Zhahir keduanya sama (seperti gerakannya) sedangkan batin keduanya berbeda.
  3. Zhahir dan batinnya berbeda.

Zhahir disini maksudnya adalah hai-ah/sifat (praktik atau gerakan shalat), sedangkan batin maksudnya adalah niatnya.

  • Contoh no. 1 adalah imam shalat ‘Ashar dan makmum juga shalat ‘Ashar maka keduanya; zhahir dan bathinnya sama.
  • Contoh no. 2 adalah imam shalat ‘Ashar sedangkan makmum shalat Zhuhur, ini maksud zhahirnya sama namun batin (niatnya) berbeda.
  • Contoh no. 3 imam shalat ‘Isya sedangkan makmum shalat Maghrib, inilah yang dimaksud berbeda zhahir dan bathin.

Contoh no. 1 sudah sama-sama kita ketahui hukumnya dengan jelas, lalu bagaimana dengan no. 2 dan 3?

Jawab: No. 2 dan 3 ini ada ikhtilaf di kalangan para ulama, yang shahih dan rajih di antara pendapat itu adalah untuk no. 2 itu boleh dilakukan meskipun imam dan makmum berbeda batinnya (niatnya) berdasarkan hadits yang lalu. Adapun no. 3 tidak boleh dilakukan karena imam itu dijadikan untuk diikuti.

Namun Syaikh Ibnu Baz dalam masalah ini berpendapat ketika ia ditanya sebagai berikut[6]:

“Terkadang ketika menjama’ antara Maghrib dan ‘Isya karena hujan, ada sebagian jamaah yang hadir (terlambat). Ketika itu imam melakukan shalat ‘Isya, orang-orang itu (yang datang terlambat) langsung masuk ke dalam shalat bersama imam dengan mengira bahwa ia (imam) shalat Maghrib, lalu apa sikap yang harus mereka lakukan?”

Ia menjawab, “Mereka harus duduk setelah rakaat ketiga (tidak bangkit bersama imam), membaca tasyahud dan doa lalu melakukan salam bersama imam[7]. Kemudian mereka melakukan shalat ‘Isya setelahnya untuk mencapai keutamaan jamaah dan mengerjakan shalat secara tertib dimana hal itu wajib…dst.”.

Shalat sunnah dengan niat lebih dari satu

Shalat sunnah dengan niat lebih dari satu hukumnya boleh.

Misalnya seseorang shalat sunnah dengan niat shalat sunnah wudhu’, shalat tahiyyatul masjid, dan shalat sunnah rawatib Zhuhur, maka tidak mengapa, namun lebih utama dipisah.

Adapun untuk shalat fardhu, maka tidak bisa sambil berniat shalat sunnah.

Mukim bermakmum di belakang musafir

Shalat orang yang mukim di belakang musafir, apa hukumnya?

Jawab: “Para fuqaha sepakat bolehnya orang yang mukim berma’mum kepada yang musafir sebagaimana dalam hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bila datang ke Makkah, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan orang-orang sebanyak 2 rak’at (diqashar), setelah selesai Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا أَهْلَ مَكَّةَ أَتِمُّوا صَلَاتَكُمْ فَإِنَّا قَوْمٌ سَفْرٌ * (مالك)

“Wahai penduduk Makkah, sempurnakan shalat kalian karena kami orang yang sedang safar.” (HR. Malik)

Catatan: Seorang musafir jika sebagai imam mengimami orang-orang yang mukim hendaknya setelah shalat memberitahukan kepada ma’mumnya agar menyempurnakan shalatnya.

Musafir bermakmum di belakang mukim

Apa hukum shalat orang musafir di belakang orang yang mukim?

Jawab, “Para fuqaha sepakat bolehnya musafir bermakmum kepada yang mukim, caranya si musafir ikut shalat 4 rakaat dengan yang mukim, karena makmum diperintahkan mengikuti imam.”

Hal ini sebagaimana dalam riwayat Ahmad bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya oleh Musa bin Salamah,

إِنَّا إِذَا كُنَّا مَعَكُمْ صَلَّيْنَا أَرْبَعًا وَإِذَا رَجَعْنَا إِلَى رِحَالِنَا صَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِ قَالَ تِلْكَ سُنَّةُ أَبِي الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ(احمد)

“Kami jika bersama kamu melakukan shalat empat rakaat dan apabila kami pulang ke rumah, kami melakukan dua rakaat?” Ibnu Abbas berkata, “Itu adalah Sunnah Abil Qaasim (sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (Diriwayatkan oleh Ahmad)

Baca juga: Mengenal Fungsi Niat

Maraji’:

  • Maktabah Syamilah versi 3.45
  • Mausu’ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Li abhatsil Qur’an was Sunnah)
  • Syarhul Arba’in An Nawawiyyah (Sulaiman bin Muhammad Al Luhaimid)
  • Mabahits Fin Niyyah (Shalih bin Muhammad Al Ulyawi)

Catatan Kaki:

[1] Rukun artinya bagian dari suatu perbuatan dan jika tidak dikerjakan maka tidak sah perbuatan itu, sedangkan syarat bukan bagian dari suatu perbuatan. Kedua-duanya (rukun dan syarat) adalah penentu sah-tidaknya suatu perbuatan.

[2] Misalnya seseorang hendak shalat, ketika ia bertakbir dan masuk ke dalam shalat ia tidak boleh berniat untuk memutuskan shalatnya, kalau berniat begitu maka batal shalatnya.

[3] Ikhlas artinya beramal karena mengharap keridhaan Allah dan pahala-Nya.

[4] Pembahasan ini banyak merujuk kepada kutaib “Mabaahits fin niyyah” oleh Syaikh Shalih bin Muhammad Al ‘Ulyawiy.

[5] QS. Al Baqarah : 196

[6] Fatawa muhimmah tata’allaq bish shalaah hal. 96.

[7] Mungkin Syaikh Ibnu Baz meng-qiyas-kan dengan shalat khauf –wallahu a’lam-

Penulis: Ustadz Marwan Hadidi S.Pdi.


Artikel asli: https://muslim.or.id/21431-penjelasan-hadits-innamal-amalu-binniyat-2.html